Kepergian Gus Dur mengingatkan saya pada Nurcholish Madjid (Cak Nur). Rasa kehilangannya, sama persis. Dua tokoh penganut pluralisme yang saya hormati. Saya jadi ingin menuang lagi tulisan lama di blog ini:
Nurcholis Madjid pergi…..Saat mendengar berita itu, rasanya ada sejumput gelisah. Hanya getaran kecil, tapi cukup mengusik. Apalagi jika dikompilasi dengan kejadian terkini seperti penutupan gereja dan munculnya Gerakan Antipermurtadan yang didukung 27 organisasi massa Islam, di antaranya Front Pembela Islam dan Barisan Pemuda Persis.
Perasaan gelisah sempat lama terabaikan (atau sengaja diabaikan?) oleh kesibukan dan mungkin juga keengganan berpikir lebih jauh. Tapi akhirnya terpikirkan juga, meski hanya dipermukaan dengan pemikiran simpang siur, seperti puluhan bintang yang berpindah tempat secara bersamaan.
Gelisah muncul karena merasakan hilangnya sosok pemikir penyeimbang….Lebih pada titik itu, bukan peristiwa penutupan gereja atau munculnya gerakan baru yang menuai pro dan kontra.
Secara pribadi, saya tidak pernah mengenal Cak Nur. Sekali pernah bertemu — berkaitan dengan pekerjaan — selebihnya mengenal pemikirannya lewat tulisan, buku, dan cerita teman-teman, termasuk dari IAIN dan Paramadina.
Pemikiran Cak Nur tentang pluralisme sungguh menciptakan rasa hormat. Nurcholisn menghargai pluralisme tanpa kehilangan pandangan bahwa Islam agama terbenar dan terbaik.
Rasa hormat juga muncul dari para rokoh pemikir seperti Gunawan Mohamad dan Frans Magnis Suseno.
Dalam buku berjudul Pintu-Pintu Menuju Tuhan yang ditulis Nurcholis, Gunawan Mohamad memberi pengantar agak emosional. ‘’Setiap kali saya mendengarkan Nurcholis Madjid, setiap kali saya merasa ada yang terselamatkan dalam iman saya: Tuhan yang maha esa itu adalah Tuhan yang inklusif. Ke dalam kemahapemurahan itu, saya tidak ditampik.’’
Dalam tulisan lain, giliran Frans Magnis angkat topi. Cak Nur pernah mengatakan, ‘‘apabila Tuhan yang bersifat mutlak membiarkan adanya agama-agama lain, maka manusia yang bersifat tidak mutlak jangan memaksakan keyakinannya pada orang lain.’’
Sebuah pemikiran berani yang tentunya tidak lahir begitu saja. Dan seperti biasa, dunia selalu melahirkan dua sisi. Baik-jahat, barat-timur, liberal-komunis, dan juga setuju-tidak setuju. PeMikiran tokoh yang dianggap memiliki banyak kesabaran ini pun menuai kritik.
Di Majalah Tempo edisi 5-11 September , kira-kira tertulis demikian:
Sebulan sebelum kepergiannya — lelaki kelahiran Jombang 17 Maret 1939 — ini menerima tamu istimewa di rumahnya. Yakni tiga wakil Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang mengaku mendapat titipan pesan dari Amir (MMI) dan Abu Bakar Ba’asyir.
Pembicaraan berkembang jauh dari sikap Cak Nur mengenai makna frase ‘’semua agama sama’’, pluralisme, hingga hukum perkawinan beda agama. Rupanya itulah dialog yang berlabuh pada dua kesimpulan: para tamu menyuruh dia bertobat dan mencabut pernyataan-pernyataan itu.
Tapi Cak Nur tidak marah. Dia mengatakan, ‘’saya tidak dalam posisi untuk menjawab.’’ Dan ketika tamunya berpamitan pulang, ia tetap mengantarkan, meski sebelumnya sudah dicecar sedemikian rupa.
Dalam Tempo edisi yang sama — catatan pinggir Gunawan Mohamad — di awal tulisan tertulis:
Lima hari setelah Nurcholis Madjid meninggal, di sebuah masjid kecil di Jalan Talang, Jakarta, seorang khatib berbicara tentang sesuatu yang menakutkan: dengan sebuah otoritas yang ia kesankan melalui mihrab dan kata-kata Arab, ia mengucapkan sesuatu yang tak benar. Ia mengatakan bahwa wajah jenazah almarhum menghitam. Kata sang pemberi kotbah ini, karena Nurcholis diazab Tuhan.
Sangat mengerikan! Penarikan kesimpulan dengan pemikiran dan wawasan yang dangkal. Wajah Nurcholis memang menghitam, tapi itu disebabkan pengaruh cangkok levernya yang tidak sepenuhnya berhasil.
Apa yang tertulis di catatan pinggir itu membuat saya gemetar. Gemas dan takut pada perkembangan ke depan. Cemas, akankah lahir Nurcholis-Nurcholis baru yang kesabaran dan pemikirannya bisa menjadi penyeimbang?
Tulisan itu menggugah kembali kegelisahan masa lampau yang sudah berhasil terabaikan. Saat mendengar kotbah khatib di masjid-masjid yang begitu gampangnya memojokkan agama lain. Ngeri melihat hasil dari kotbah itu terhadap massa sholat Jumat. Banyak orang menelan mentah-mentah, meski ada juga yang geleng kepala.
Gugahan perasaan yang sama sempat muncul sekitar satu tahun lalu, ketika berbincang dengan beberapa penganut dan pendeta salah satu aliran agama Kristen. Dalam upaya menganggap agamanya terbenar, mereka menanamkan pada umatnya bahwa agama lain tidak akan diterima Tuhan. Artinya, mereka masuk neraka. Sebenarnya sebuah tafsir sama, yang dianut beberapa penganut agama lain yang militan.
Benar-benar membuat kening berkerut dan hati berkedut. Apakah orang baik yang tidak memeluk agama sesuai dengan keyakinan penganut lain berarti akan masuk neraka? Sementara orang jahat yang masuk dalam kepercayaan yang dianggap benar bisa masuk surga? Sebuah pemikiran naif yang muncul begitu saja dalam benak saya.
Tapi disamping itu, ada kegelisahan lain. Tidakkah akan lebih baik jika seorang khatib dan pendeta dibekali dulu pendidikan dan wawasan luas, sebelum berkotbah menyebarkan pengetahuan dan tafsirnya ke banyak orang? Hanya pemikiran dan angan-angan kecil yang belum tentu berguna, tapi saya lontarkan dengan penuh harapan terhadap sebuah impian, perdamaian.
Terlepas dari semua itu, menyimak pemikiran Cak Nur memang sangat menarik. Banyak buku bisa dibaca. Di antaranya yang kaya makna dan ditulis dengan bahasan sederhana serta mudah dimengerti, yaitu Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Mengetengahkan tulisan-tulisan pendek dengan puluhan subjudul tentang berbagai persoalan. Mulai dari Islam Agama Manusia Sepanjang Masa, Iman Tidak Cukup Hanya Percaya, Tentang Kiblat dan Maknanya, Nabi Muhammad yang manusiawi, Isa dan Keluarga Imran, Dokumen Aelia, Ulama Bukan Pendeta, Makar Tuhan, hingga Berlagak Suci dan Berbuat baik pada Orang Tua.
Bahasan tentang Nabi Muhamad dan Jengis Khan satu dari sekian banyak tulisan menarik. Digambarkan, tokoh yang satu pembawa kebaikan, satu latu lagi pembawa bencana.
Tapi disebutkan, ada satu titik kesamaan, yaitu keahlian dalam strategi dan taktik peperangan. Keduanya adalah mahajendral yang dengan pimpinannya dan lewat para pengikutnya telah menaklukkan dan menguasai daerah pusat peradaban.
Tapi ada lagi satu titik yang amat kontras antara dua maha jenderal itu, saat kita sekarang mencoba melihat dampak, bekas, atau warisan pengaruh mereka. Dari Nabi Muhammad, kita dapat melihat dengan mudah bukti-bukti kebesaran yang ditinggalkan, yaitu keberadaan dan penyebaran umat Islam.
Tapi Jengis Khan? Tidak ada bekas apa pun kecuali cerita tentang kemenangan militernya dan catatan hitam kekejamannya.
Di subjudul lain, Cak Nur bercerita tentang Dokumen Aelia. Sebuah naskah perjanjian yang dibuat Khalifah ‘Umar Ibn al-Khaththab, dengan penduduk Kota Aelia, nama lain untuk Yerusalem. Pada waktu kota itu jatuh ke tanga orang beriman, Yerusalem adalah kota suci tiga agama, Yahudi, Kristen, dan Islam. Karena pentingnya kota itu bagi kaum Muslim, patriak yang menguasainya tidak menyerahkan kepada mereka, kecuali jika pemimpin tertinggi mereka sendiri, yaitu Khalifah ‘Umar, datang menerimanya secara pribadi.
Singkatnya, peristiwa sejarah yang tercatat dalam Dokumen Aelia memperlihatkan bagaimana sikap Islam kepada agama-agama lain, khususnya agama Ahl al-Kitab, seperti Yahudi dan Kristen. Yaitu sikap menenggang dan menghargai.
Dalam Dokumen Aelia termuat jaminan Islam untuk kebebasan, keamanan, dan kesejahteraan kaum Kristen beserta lembaga-lembaga keagamaan mereka. Berbeda dengan kebijakan kaum Kristen sebelumnya, kaum Islam juga mengizinkan kaum Yahudi ikut menghuni kembali Yerusalem. Namun karena kaum Kristen keberatan jika dicampur, maka ‘Umar pun menempuh jaln membagi Yerusalem menjadi sektor-sektor Islam, Yahudi, dan Kristen.
Mengapa ‘Umar menempuh politik yang begitu liberal? ‘Umar hanya menyontoh sunnah Nabi saw yang telah membuat konstitusi Madinah yang terkenal itu.
Membaca ulasan-ulasan Cak Nur sungguh menyejukkan hati. Andai sikap seperti ‘Umar dapat diterapkan dalam kehidupan di Indonesia, sungguh indah. Dalam pikiran saya yang jelas sangat sangatlah kecil, buat apa ada keributan dan penekanan antara satu agama dan agama lain. Buat apa ada kecurigaan yang bisa menghancurkan moralitas individu dan sebuah bangsa?
Penekanan, pemaksaan, dan sifat-sifat sejenis, tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali keresahan, kemarahan, ketakutan, kecurigaan, yag akhirnya bisa bermuara pada kekerasan.
Sejarah membuktikan, semua persoalan saling terkait antara sebab dan akibat. Banyak peristiwa yang menghasilkan adukekuatan yang tidak berarti. Penekanan pada kaum minoritas, selalu menghasilkan sesuatu di luar perkiraan kaum mayoritas.
Masyarakat Yahudi, kini diam-diam menguasai dunia dengan pengendalian ekonomi. Keturunan China di Indonesia, kini juga menguasai perekonomian negeri ini.
Dalam kehidupan beragama, penekanan menimbulkan eksklusifitas. Baik itu dalam Islam dengan berbagai aliran seperti Ahmadiah, atau pun dalam Kristen seperti misalnya Bethani. Eksklusifitas pada akhirnya akan menimbulkan sifat parokial. Dalam tekanan, mereka justru saling membantu, menguatkan dalam segala hal. Mulai dari ekonomi hingga bidang kehidupan lain.
Dengan berbagai bukti dan kemungkinan itu, tidakkah akan lebih baik jika kita saling menghargai, seperti yang diteladankan ‘Umar dalam Dokumen Aelia?
SALAM
betul
kita sebagai bangsa masih perlu belajar banyan soal pluralisme
saya juga banyak mendengar khotbah di masjid yang memojokkan bukan hanya agama lain, bahkan warga indonesia sesama islam.
respek dan saling mernghargai mungkin jadi pondasi yg harus kita pelajari bersama
Segala sesuatu kalau sandarrannya benar mudah2an pun benar segala apa yang di perbuatnya. tapi kalau salah ya salah semua……segala sesuatu ada standarnya, kalau sama pemahamanaya ya nggak akan terjadi saling menyalahkan satu sama lain…..
Sedang Cak Nur adalah tokoh yang di kenal dengan Islamnya tpi pernyataan dan sikapnya selalu tidak mengambil dari apa yang menjadi sandaran Islam itu sendiri yaitu Al-Quran dan Sunnah Nabi-Nya….Lucu kan???
Bagi saya, Meyakini bahwa agamanya adalah agama terbaik dan agama selainnya salah bukanlah hal buruk, bahkan keharusan sebagai bukti kebenaran iman. apalagi bila Tuhannya sendiri yang telah menegaskan itu dalam kitab suci agama yang dianutnya. seperti misalnya Islam dalam Al Qur’an surat 3:19.
Nah, kalau sudah memaksakan pemeluk agama lain untuk mengikuti keyakinannya, itu baru yang keliru.
Sepertinya ini bakal jadi salah satu buku favorit saya sepanjang masa. Sempat ‘pegang’ beberapa kali (dipinjami, beli untuk hadiah, koleksi pribadi dan hilang) sebelum akhirnya beli sekali lagi untuk diri sendiri (yang semoga tidak hilang lagi karena buku ini semakin sulit saja dicari 🙂 ).
Soal dampak, sangat sepakat, meski jika melihat perkembangan di beberapa belahan dunia agak mengkhawatirkan—di mana a.l. nilai-nilai dasar seperti semangat ‘belajarlah sampai ke negeri China’ atau ‘kebersihan bagian dari iman’ sebagai sikap mental rasanya semakin jauh dari keseharian yang kian didominasi pemaksaan pemahaman kelompok (yang tak jarang terdistorsi dengan kepentingan pribadi) yang hanyut dalam kejayaan masa lalu.
Jika berkenan silakan tengok ulasan saya (menu ‘Logs’) yang mencoba fokus kepada aspek kemajemukan. Salam.